Haji Dalam Kilasan Sejarah

Setiap tahun puluhan juta umatIslam mendambakan dirinya pergi ke Tanah Suci (Makkah) untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat ini sekitar empat hingga lima juta umat Islam dari berbagai negara di dunia sedang bersiap diri melaksanakan ibadah haji. 

Pelaksanaan ibadah haji telah diperintahkan oleh Allah SWT sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Dan, ibadah haji merupakan sebuah perjalanan ritual dalam menghayati hakikat hidup dan keimanan kepada Allah SWT. Demikian dikemukakan intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya, Al-Hajj.

Menurut Ali Syariati, ibadah haji adalah sebuah demonstrasi simbolis dari falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya adalah sebuah pertunjukan akbar tentang hakikat penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi islam, dan ummah.

“Allah adalah sutradaranya. Sedangkan, skenario atau temanya adalah tentang perbuatan orang-orang yang terlibat dan para tokoh utamanya adalah Adam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail, dan iblis. Adapun lokasinya di Masjidil Haram (Ka’bah), Mas’a (tempat sai), Arafah, Masy’ar, dan Mina. Simbolnya adalah Ka’bah, Safa, Marwa, siang, malam, matahari terbit, matahari tenggelam, berhala, dan upacara kurban. Pakaiannya adalah ihram dan aktor dari peran-peran dalam pertunjukan itu adalah umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah haji,” kata Ali Syariati.

Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur mengenai ibadah haji dan umrah, pelaksanaan ibadah haji telah disyariatkan sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW. Adapun tata cara ibadah haji yang disyariatkan kepada para nabi dan rasul itu umumnya lebih banyak berkisar pada pelaksanaan tawaf atau mengelilingi Ka’bah. Berikut sejumlah tata cara ibadah haji yang dilaksanakan sejak zaman Nabi Adam AS hingga sekarang ini.

Nabi Adam AS

Setelah beberapa waktu sejak diturunkan ke bumi, Nabi Adam diperintahkan oleh Allah SWT pergi ke Baitullah di Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut sejumlah riwayat, Ka’bah dibangun oleh para malaikat. Dan selama lebih dari 2.000 tahun, malaikat sudah melaksanakan tawaf (mengelilingi Ka’bah). Nabi Adam AS kemudian mengikuti apa yang dilakukan malaikat.

Ka’bah awalnya telah dibangun oleh malaikat. Kemudian, Nabi Adam AS diperintahkan untuk membangun kembali Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS Ali Imran [3]: 96).

Nabi Hud dan Saleh

Para nabi setelah Adam AS juga melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Bidayah wa an-Nihayah, menyebutkan sebuah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ra, Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Nabi SAW sedang lewat di Lembah Usfan pada waktu berhaji, beliau berkata, ‘Wahai Abu Bakar, lembah apakah ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Lembah Usfan.’ Nabi Bersabda, ‘Hud dan Saleh AS pernah melewati tempat ini dengan mengendarai unta-unta muda yang tali kekangnya dari anyaman serabut. Sarung mereka adalah jubah dan baju mereka adalah pakaian bergaris. Mereka mengucapkan talbiyah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah’.”

Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS

“Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu menyekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang bertawaf dan orang-orang yang beribadah, dan orang yang ruku dan sujud. Dan, serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan’.” (QS al-Hajj [22]: 26-28).

Nabi Ibrahim diperintahkan Allah SWT untuk mengajak umat manusia mengerjakan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya, nabi-nabi lainnya mengerjakan hal serupa.

Nabi Muhammad SAW

Ibadah haji disyariatkan pertama kali pada tahun keenam Hijriah. Sedangkan, Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji pada tahun kesembilan Hijriah.

Banyak ayat Alquran yang memerintahkan Nabi SAW dan umat Islam untuk melaksanakan haji, sebagaimana tuntunan Allah dalam Alquran (QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22: 27).

Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah tawaf (QS 22: 29 dan 2: 125), sai antara Safa dan Marwa (QS 2: 158), wukuf (QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199), berkurban (QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36), dan tahalul atau mencukur rambut (QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29).

Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka, barang siapa yang beribadah haji. (syahruddin el fikrie)

Pemerintah Rancang Kloter Khusus Lansia

Untuk mempermudah layanan terhadap jamaah calon haji lanjut usia (lansia), pemerintah mempertimbangkan adanya kloter khusus untuk lansia.

Menurut Muh Ilyas, Kepala Seksi Kesehatan Daerah Kerja Makkah, sesuai evaluasi pasca-Armina bersama Menteri Agama Suryadharma Ali, untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun mendatang, jamaah lansia tetap menjadi prioritas

dengan memberikan kuota lebih awal untuk mereka.

"Ada wacana untuk mengelompokkan para jamaah lansia itu dalam satu kloter khusus," ujar Ilyas saat ditemui di Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) Makkah, Jumat (2/11). Ilyas mengatakan, jika kloter khusus ini akan diterapkan nantinya para jamaah calhaj lansia ini akan dikelompokkan dari setiap embarkasi.

"Memang membutuhkan teknis dan mekanisme tersendiri untuk mengumpulkan para jamaah ini," kata Ilyas. Hanya, lanjutnya, kendala yang akan muncul adalah mereka akan terpisah dari keluarga yang menyertai, terutama jika mereka tergabung dengan KBIH. Menurut Ilyas, pihaknya akan mempertimbangkan agar para jamaah lansia itu tetap disertai pendampingnya. "Mereka tidak akan dibiarkan sendiri," papar Ilyas.

Bagi dia, pengelompokan ini memang ada dampak positif dari sisi layanan karena memudahkan pemantauan pada jamaah lansia. "Namun perlu persiapan tenaga khusus untuk melayani jamaah lansia," kata dia.

Sumber: Republika Online-Dewi Mardiani-Endah Hapsari

Hakikat Melontar Jamarat

Mabit atau bermalam di Muzdalifah memberikan kesempatan kepada jamaah haji untuk beristirahat guna memulihkan tenaga. Kondisi badan yang fit sangat diperlukan sebab rangkaian kegiatan ibadah haji keesokan harinya sangat berat, yaitu melempar jumrah Aqabah di Mina.

Melempar jumrah adalah simbol perlawanan terhadap setan. Karena melawan setan tidak semudah membalik telapak

tangan, kita membutuhkan stamina dan kekuatan yang sangat besar untuk mengalahkannya. Karena itulah, sebelum melaksanakan ibadah apa pun kondisi tubuh kita harus sehat dan kuat.

Hikmah yang bisa kita petik dari kegiatan mabit di Muzdalifah adalah bahwa untuk dapat menjalankan ibadah secara baik kita harus menjaga kondisi fisik agar tetap prima. Karena itu, penulis akan menyediakan ruang tersendiri untuk membahas tentang persiapan apa saja yang harus dilakukan agar kesehatan fisik dan mental tetap terjaga.

Melempar jumrah adalah simbol perlawanan manusia terhadap setan. Manusia harus melakukan perlawanan kepada setan karena mereka selalu berupaya menyesatkan manusia dari jalan kebenaran dan menjauhkan mereka dari jalan Allah SWT. Melempar jumrah adalah simbol keteladanan Hajar yang menunjukkan sikap permu terhadap setan.

Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa sewaktu Ibrahim membawa Ismail untuk disembelih, setan membujuk Hajar agar menghentikan langkah suaminya itu. Sebagi seorang ibu, menurut setan, Hajar tidak akan sampai hati mengetahui buah hatinya dikorbankan. Perkiraan setan ternyata meleset. Bukannya menuruti bisikan setan, Hajar malah mengambil batu dan melemparinya berkali-kali.

Dalam ibadah haji, melempar jumrah tidak hanya dilakukan dalam satu hari melainkan tiga atau empat hari. Ini menunjukkan perintah Allah yang sangat tegas agar manusia benar-benar memusuhi setan dan tidak bersekutu dengannya. Panji-panji harus terus dikibarkan dan genderang perang melawan setan harus terus ditabuh.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya setan adalah musuh bagimu maka jadikanlah ia sebagai musuh(mu). Sesungguhnya setan- setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. Fathir ayat 6).

Orang yang mengharapkan kebahagiaan di dunia dan akhirat harus bisa menyelami sekaligus mempraktikkan makna dan nilai-nilai melempar jumrah, yaitu memusuhi setan hingga kapan pun. Setiap muslim terutama para jamaah haji yang telah pulang dari Tanah Suci harus mencontoh sikap Hajar dalam memerangi setan, sebab hanya dengan cara itulah kita akan sampai pada ridha Allah SWT.


Sumber: Republika Online-Panduan Super Lengkap Haji & Umrah, Oleh Aguk Irawan MN - Dewi Mardiani- Hannan Putra

Seorang jamaah haji melempar jumrah, yakni melempar batu pada pilar yang melambangkan setan di Mina dekat kota suci Makkah, Jumat (26/10). (Hassan Ammar/AP)

Apa Setelah Haji Mabrur?

Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA

Mampu melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci dan kembali dalam keadaan sehat wal afiyat merupakan dambaan dan cita-cita setiap kaum muslim.


Haji merupakan ibadah yang meniscayakan terkumpulnya tiga perkara: kecukupan dana, kesehatan jasmani dan rohani: serta tersedianya waktu/ kesempatan/momentum. Sehingga ketiga-tiganya hendaknya dipelihara dengan baik sejak dari masa keberangkatan hingga kepulangan.

Berbahagialah para jamaah haji yang dapat melaksanakan rukun Islam kelima dengan lancar dan khusu'. Selamat! Anda telah meraih haji mabrur, sehingga Allah SWT pada saatnya nanti insyaallah akan memenuhi janji-Nya dengan memberikan balasan berupa surga.

Namun, mabrurnya ibadah haji sesungguhnya bukan hanya terletak pada pelaksanaan, melainkan juga masa-masa sesudah pelaksanaan. Apakah konsistensi dalam beribadah, berdoa, dan bertawakal selama haji masih dilakukan pada saat pulang ke Tanah Suci?

Apakah hikmah yang didapatkan dalam ibadah haji memberikan pengaruf positif bagi ibadah-ibadah lainnya? Apakah pelaksanaan rukun Islam yang terakhir ini menjadikan jamaah semakin khusyuk dan paripurna dalam amal ibadah lainnya?

Secara umum, kualitas kemabruran haji dapat dinilai dalam beberapa hal. Pertama, konsistensi dalam memelihara niat yang baik dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Niat baik ini sama dengan niat haji yang semata-mata dilakukan karena Allah SWT dan bukan karena manusia. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat." (HR. Bukhari-Muslim).

Kedua, konsistensi memelihara diri dalam kesucian (ketakwaan) dan ketegaran. Dua pilar ini merupakan hasil yang didapatkan para hujjah setelah melakukan sa’i yang senantiasa dimulai dari Shafa (berarti kesucian) dan Marwa (ketegaran). Allah SWT berfirman, "Sungguh, Shafa dan Marwa merupakan sebagian dari syiar Allah." (QS. Al-Baqarah: 158).

Ketiga, konsistensi berada dalam lingkaran tauhid dan lingkaran ketuhanan dalam menjalani kehidupan. Sikap ini merupakan falsafah thawaf yang senantiasa berlomba-lomba berada dalam lingkaran ketuhanan bersama orang-orang saleh dan menyegerakan diri dalam kebajikan (QS. Al Hajj: 26).

Keempat, memiliki kemampuan yang besar dalam menjauhkan diri dari perbuatan buruk dan tercela, tidak mengulangi keburukan masa lalu karena hal tersebut merupakan salah satu tanda ibadah hajinya diterima Allah SWT (QS. Al-Maidah: 93).

Kelima, memiliki kemampuan yang besar untuk lebih zuhud dalam urusan dunia dan senantiasa mengharap kepada Allah dalam urusan akhirat. Hal yang sama telah dilakukan sepanjang perjalanan menuju medan haji, di medan haji dan proses kepulangannya ke Tanah Air. Allah SWT berfirman, "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ihlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama." (QS. Al-Bayyinah: 5).

Keenam, memiliki kemauan yang besar untuk lebih banyak memberi dan berbagi kepada karib kerabat dan masyarakat sekitar.

Hal tersebut karena disunahkan bagi yang selesai menjalankan ibadah haji antara lain: untuk memberi tahu jadwal kedatangan, memberikan hadiah kepada anak-anak dan kerabat, shalat dua rakaat di masjid sebelum tiba di rumah, menerima doa dan mendoakan karib kerabat serta tetangga yang mengunjunginya, dan banyak membantu kaum fakir-miskin. Wallahu a'lam.

Sumber: Republika Online-Chairul Akhmad

Haji Tanpa Makkah

Oleh: KH Ali Mustafa Yaqub

Sekitar 1970-an, di negeri kita muncul paham yang aneh, bahkan sesat. Paham itu mengajarkan, orang yang berziarah ke tujuh makam wali, maka ia akan mendapatkan pahala yang sama seperti pahala

ibadah haji dan umrah.

Waktu itu banyak orang bertanya, bolehkah orang yang sudah berziarah ke tujuh makam para wali itu menyandang gelar haji?

Tentu, kita tidak ingin membahas gelar haji atau hajah bagi orang tersebut karena paham tersebut telah menyimpang dari Islam.

Mudah-mudahan paham itu sekarang sudah tidak ada lagi. Mungkinkah orang yang tidak pergi ke Makkah mendapatkan pahala ibadah yang sama dengan ibadah haji dan umrah? Sangat mungkin apabila kita mengikuti Rasulullah SAW.

“Siapa yang shalat Subuh berjamaah (di masjid), kemudian ia tetap duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah SWT sampai terbit matahari, kemudian ia shalat sunah dua rakaat, maka ia akan mendapatkan pahala ibadah haji dan umrah dengan sempurna.” (Hadis hasan (baik), riwayat Tirmidzi dalam kitabnya, “Sunan al-Tirmidzi”.

Dari hadis ini, ada lima syarat yang mesti dikerjakan oleh setiap Muslim untuk mendapatkan pahala haji dan umrah tanpa pergi ke Makkah. Pertama, shalat Subuh berjamaah. Kedua, tetap duduk di tempat shalatnya. Ketiga, berzikir kepada Allah SWT. Keempat, hal itu dilakukan sampai terbit matahari. Kelima, shalat sunah dua rakaat.

Para ulama berbeda pendapat tentang shalat sunah dua rakaat ini, apa namanya? Ada yang mengatakan itu adalah shalat sunah Thulu´al-Syams (terbit matahari) dan yang lain menyebutnya shalat sunah Muqadimah Dhuha (pembuka Dhuha).

Bagi kita, tidak soal nama shalat itu, yang penting, kita niat shalat sunah dua rakaat. Apabila lima syarat itu dikerjakan, kita akan mendapatkan pahala ibadah haji dan umrah secara sempurna tanpa pergi ke Makkah.

Untuk menambah bekal kita di akhirat, seyogianya setiap Muslim mengerjakan tuntunan Nabi SAW ini. Mendapatkan nilai ibadah haji tanpa harus mengeluarkan biaya pergi ke Makkah, tanpa uang saku, dan juga tanpa biaya yang ekstra. Sekiranya mungkin, hal itu kita lakukan setiap hari dan apabila tidak mungkin minimal kita lakukan satu minggu satu kali.

Tuntunan Nabi SAW ini berlaku, baik bagi orang yang belum berhaji maupun orang yang sudah berhaji. Kendati begitu, bagi orang yang belum pernah beribadah haji, apabila ia memiliki kemampuan finansial untuk pergi ke Makkah, ia wajib pergi ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji.

Bagi yang sudah beribadah haji, tapi tak memiliki kemampuan berhaji lagi, cukup mengerjakan tuntunan Nabi SAW itu. Bagi yang sudah berhaji dan memiliki kemampuan, ikutilah tuntunan sunah Nabi SAW, yaitu berhaji cukup sekali dan berinfak ribuan kali.

Tak perlu berkali-kali berhaji, tetapi cukup menjalankan tuntunan Nabi SAW di atas dan uangnya bisa dimanfaatkan untuk diinfakkan di jalan Allah (fi sabilillah).

Sekiranya memang mencari pahala haji dan umrah, cukup mengerjakan tuntunan Nabi SAW tersebut di atas. Status sosial tak perlu dipikirkan sebab hal itu merusak niat haji. Wallahu a'lam.

Sumber: Republika Online - Chairul Akhmad

Berat Koper (Oleh-oleh) Jamaah Masih Dibawah Batas Maksimal

Berat maksimum koper jamaah haji adalah 32 kilogram. Bila berlebih akan dibongkar dan dikurangi isinya. Demikian ketentuan dari Kementerian Agama (Kemenag) dan dua maskapai penerbangan yang mengangkut jamaah haji. Namun, sampai dengan Kamis (1/11), rata-rata berat koper jamaah masih di bawah berat maksimum.

Untuk jamaah Kloter 4 Solo, misalnya, berat rata-rata koper jamaah hanya 28,1 kilogram. Jumlah total koper milik 373 jamaah yang diterbangkan oleh Garuda Indonesia, dengan nomor penerbangan GA 6901 tersebut hanya 10,484 ton. Demikian data yang tercatat di Madinatul Hujjaj (Asrama Haji Indonesia) di Jeddah. Alhasil, ada selisih sekitar setengah ton yang tidak digunakan.

Kendati masih ada ruang sekitar setengah ton, namun itu bukan berarti jamaah haji masih dapat menambah koper, atau mengompensasinya dengan menambah tentengan barang bawaan. “Tidak bisa, karena berat 32 kilogram koper setiap jamaah itu merupakan berat maksimum. Bergantung mereka menggunakan atau tidak,” kata Yudi Dewanto, koordinator Hujjaj Handling saat ditemui di Madinatul Hujja, Kamis (1/11).

Berat di bawah kuota maksimum itu juga dialami kloter-kloter lainnya. Seperti Kloter 2 Jakarta (29,9 kg ), Kloter 2 Medan (29,27 kg), Kloter 2 Ujungpandang (31,26 kg), dan Kloter 2 Banda Aceh (29,43 kg).

Yudi menduga, kurangnya berat koper jamaah tersebut karena pihak Kementerian Agama mengambil koper tersebut jauh-jauh hari. Untuk beberapa kloter, diambil H-10 keberangkatan, atau pada 21 Oktober. Padahal, pada tanggal tersebut, jamaah haji belum lagi menggunakan kain ihram untuk wukuf, sehingga kain ihram tak sempat masuk koper. Sementara, bila kain ihram masuk ke dalam tas troli, hanya dengan dua atau tiga stel, tas troli sudah akan sesak.

“Seharusnya sih koper itu diambil pihak Kemenag setelah proses haji selesai, sehingga isi kopernya bisa maksimal. Tapi, soal itu (mengambil tas koper jamaah-red) kebijakan Depag lah,” kata Yudi.

Kendati Kementerian Agama mengambil koper jamaah jauh-jauh hari, nyatanya koper-koper tersebut baru diantar ke Madinatul Hujjaj Jeddah pada H-1 keberangkatan. Di Madinatul Hujjaj, koper-koper tersebut ditimbang lagi, diperiksa dengan x-ray, kemudian dikirim ke bandara menggunakan truk kontainer. “Kita kirim ke bandara 12 jam sebelum pesawat berangkat,” katanya.

Sumber: Sinhat -Haji Kemenag (Rep)

Kawasan Jamarat Mina Sudah Sepi

Memasuki hari tasrik ketiga atau 13 Dzulhijah, seluruh jamaah haji termasuk asal Indonesia telah meninggalkan kawasan Mina, Arab Saudi.

Mina merupakan kawasan untuk melempar jumroh batu baik wusto, ula, dan aqobah sebagai bentuk perlawanan terhadap setan. Mina merupakan salah tempat aktifitas rangkaian haji setelah sebelumnya melakukan wukuf.

Para jamaah yang meninggalkan kawasan Mina, membuat temapt melempar jumroh tersebut, saat ini dalam keadaan relatif lebih sepi. Dan sejauh ini, hanya terlihat tumpukan sampah yang berserakan di sekitar kawasan Mina. Tidak ada lagi jamaah haji yang membludak, memenuhi dan memadati kawasan sekitar jamarat Mina.

Mereka yang meninggalkan kawasan Mina termasuk jamaah Indonesia, memilih nafar awal, yakni hanya berdiam dan melakukan jumroh selama dua hari. Setelah itu para jamaah, menuju ke Makkah untuk melakukan rangkaian rukun haji selanjutnya. Yakni Thawaf ifadah, dan sai di Masjidil Haram.

Sejauh ini, jalan-jalan menuju ke Masjidil Haram sudah relatif mencair dan tidak menimbulkan antrean yang panjang. Hal Ini disebabkan, sudah berkurangnya antrean bus besar dan mobil-mobil pribadi secara bersama menuju ke Makkah.

Pada malam hari kemarin, antrean kendaraan masih terjadi dan menyebabkan kemacetan yang cukup panjang, bisa mencapai 4-5 jam lebih untuk ke Masjidil Haram yang sebelumnya hanya setengah jam. Sebagian besar dari jamaah memilih untuk berjalan kaki ke Masjidil Haram.

Sumber: Sinhat - HAji Kemenag-(MCH/Akmal)